Rabu, 15 Oktober 2008

Merayakan Natal Sebelum 25 Desember ? Jangan Dong


Merayakan Natal Sebelum 25 Desember? Jangan Dong!
Joas Adiprasetya

Selalu saja ada ketegangan yang terjadi sejak awal bulan Desember, ketika acara Natal dirancang untuk komunitas-komunitas yang anggotanya terdiri dari banyak gereja. Pasalnya, banyak umat Protestant yang tidak terlampau peduli bahwa Natal harus dirayakan pada atau sesudah tanggal 25 Desember.
Alasannya sederhana saja. Mereka akan berdalih: Bukankah yang penting hatinya, bukan tanggalnya. “Bagaimana” dan bukan “kapan.”
Apalagi, bukankah tanggal faktual kelahiran Yesus tak lagi bisa dilacak.
Mereka cukup memiliki informasi bahwa 25 Desember dipilih berdasarkan
tradisi Barat pra-Kristen yang kemudian dikristenkan dan diadopsi
menjadi tanggal kelahiran Sang Juruselamat. Cukup beralasan. O, ya, ada
alasan praktis lainnya. Yaitu: kita harus merayakan natal-natal kecil
ini sebelum akhirnya memuncak pada perayaan Natal “besar” pada tanggal
24 Desember malam di gereja masing-masing.


Namun, alasan-alasan tersebut tak cukup kuat bagi sebagian umat Katolik,
misalnya, yang cukup ketat mempertahankan kebiasaan mereka untuk tidak
merayakan Natal sebelum 25 Desember. Orangnya belum lahir kok dirayakan,
demikian kilah mereka. Alasan yang juga masuk akal.

Bagaimana posisi saya sebagai seorang Protestant? Jelas saya memihak
pada pendirian gereja Katolik! Lho, kok? Apakah ada pertimbangan
lainnya? Jelas ada. Baiklah saya uraikan apa yang saya pahami.

Pertama, saya amat menyadari nilai praktis dari perayaan Natal sebelum
tanggal 25 Desember. Karena setelah tanggal tersebut, praktis
keluarga-keluarga Kristen berkeinginan untuk menghabiskan liburan
bersama keluarga hingga tahun baru menjelang. Bagaimana bisa berlibur
dengan tenang, bahkan bagaimana bisa berlibur, jika pada tanggal 26
Desember si kecil harus ikut Natalan Sekolah Minggu, lalu keesokan
harinya giliran si kakak yang ikut Natalan Pemuda, dan seterusnya.
Alasan ini bisa saya pahami sepenuhnya. Toh saya juga punya keluarga.
Namun, alasan praktis ini tidak punya bobot teologis yang cukup kuat,
yang sebentar akan saya paparkan. Tapi, ketahuilah, saya
sepenuh-penuhnya memahami cara berpikir ini.

Kedua, saya juga paham bahwa 25 Desember bukan tanggal faktual kelahiran
Yesus. Banyak orang yang bahkan beranggapan bahwa Yesus sesungguhnya
lahir pada bulan April. Sekali lagi tanggal berapa pun bukan poin yang
terpenting. Yang terpenting adalah, bahwa secara global, ekumenis dan
tradisional, gereja-gereja telah menyepakati bahwa tanggal 25 Desember
menjadi tanggal peringatan kelahiran Sang Juruselamat. Tentu dengan
pengecualian gereja-gereja Orthodoks Timur yang merayakannya pada awal
bulan Januari. Singkatnya, 25 Desember adalah sebuah konsensus orang
beriman, yang memandang perlu untuk memiliki satu tanggal bersama untuk
memusatkan ibadah dan iman mereka pada momen di mana Sang Anak Allah
lahir di tengah dunia.

Dalam kaitan dengan itu, lantas gereja memasukkan tanggal 25 Desember ke
dalam kalendar gerejawi. Iman kristen diasuh berdasarkan rentetan
peristiwa imani yang diungkapkan lewat kalendar gerejawi tersebut.
Bahkan, bukan hanya 25 Desember, kalendar gerejawi kemudian juga
meletakkan 4 minggu sebelum 25 Desember sebagai masa Pra-Natal atau yang
lazim kita kenal dengan sebutan Minggu-Minggu Adventus. Selama empat
minggu itu, kita mempersiapkan diri menyambut Natal (memperingati
kelahiran Yesus sekitar dua ribu tahun silam) serta menyambut kedatangan
Kristus kembali (mengharapkan kedatangan-Nya di masa depan). Jadi, masa
adventus adalah masa di mana masa silam (peringatan) dan masa depan
(pengharapan) menyatu. Dan semua proses ini memuncak pada perayaan Natal
itu sendiri, yaitu mulai dari Malam Natal (24 Desember malam, Christmas
Eve) dan Hari Natal (25 Desember). Singkatnya, seluruh struktur kalendar
gerejawi tersebut turut membentuk struktur iman kristiani kita.

Nah, kini bayangkan kekacauan yang bakal muncul jika Natal dirayakan
sebelum tanggal 25 Desember—katakanlah tanggal 16 Desember—yaitu ketika
kita masuk pada masa adventus, yang pada intinya mempersiapkan diri kita
untuk menyambut Natal dengan baik. Lalu setelah itu (17 Desember) kita
kembali memasuki masa persiapan Natal (masa Adventus) menurut kalendar
gerejawi. Apa bukan sebuah kekacauan? Jika ini dilangsungkan, maka
kacaulah seluruh struktur kalendar gerejawi dan penghayatan kita
terhadap makna Adventus dan Natal menjadi kabur dan tak lagi bermakna.

Jika penjelasan yang saya paparkan bisa diterima (harapan saya
demikian), maka bagaimana secara praktis menyiasati kebutuhan
perayaaan-perayaan Natal yang begitu banyak itu (natalan komisi, natalan
wilayah, natalan marga, natalan keluarga, natalan kantor, natalan klub
glof, natalan kelompok PA, natalan ini dan natalan itu)? Pertama-tama,
perlu dipertanyakan apakah memang mengikuti perayaan natal yang berjibun
itu merupakan sebuah kebutuhan yang musti dipenuhi? Atau apakah memang
itu kebutuhan? Saya kok curiga bahwa itu semua bukan kebutuhan kita.
Lebih tepat, mungkin, itu semua merupakan sebuah kebiasaan yang lantas
kita anggap sebagai kebutuhan. Jadi, bagaimana?

1. Buatlah prioritas, perayaan Natal mana yang memang butuh Anda ikuti.
Jika memang tidak benar-benar butuh, tidak perlulah mengikutinya.
2. Jika perayaan Natal tertentu dirasa memang sebuah kebutuhan (atau
keharusan), maka jika Anda termasuk orang yang terlibat dalam
perencanaannya, berikanlah argumentasi Anda untuk tidak merayakannya
sebelum tanggal 25 Desember. Syukur-syukur kemudian bisa dialihkan
setelah tanggal 25 Desember, tentu dengan konsekuensi minimnya
pengunjung yang bakal datang.
3. Atau, jika perayaan setelah 25 Desember tetap tidak mungkin, opsi
lain adalah menyelenggarakannya bukan sebagai perayaan Natal, namun
perayaan persiapan Natal, yang isinya bernuansa Adventus. Strategi ini
memiliki nilai ekumenis, karena lantas mereka yang berasal dari Gereja
Katolik tidak mengingkari apa yang mereka praktikkan selama ini.
4. Atau pilihan lain: Alih-alih membuat perayaan Natal yang menghabiskan
banyak uang yang tak perlu, buatlah perayaan (menyambut) Natal yang
berbentuk aksi nyata demi sesama yang membutuhkan. Strategi ini mulia
sifatnya, karena menggeser kebiasaan yang konsumtif dan egoistik menjadi
kebiasaan yang produktif dan altruistik (berorientasi pada sesama).

Bagaimana dengan gereja? Selain beberapa pemikiran di atas, menurut saya
sudah sejak lama gereja-gereja (termasuk GKI Pondok Indah) berpikir
untuk mengubah kesalahan selama ini, yang memusatkan perhatian lebih
pada Natal tinimbang Paska, padahal pada momen Paska-lah iman kita
memperoleh perhatian paling penting. Natal bermakna dalam terang Paska.
Paska tetap bermakna tanpa perayaan Natal. Palang Salib lebih penting
dari Palungan. Maka, usulan konkret saya:

5. Jika memang perayaan-perayaan Natal untuk komunitas-komunitas
tertentu tidak mungkin dilakukan setelah tanggal 25 Desember, karena
alasan praktis atau alasan-alasan lain, maka sebaiknya apa pun yang
diselenggarakan sebelum tanggal 25 Desember menjadi kegiatan Adventus
(persiapan Natal).
6. Atau tiadakan sama sekali semua perayaan “kecil” tersebut dan
dipusatkan secara lebih meriah pada Malam Natal dan Hari Natal,
bersama-sama sebagai satu umat. Perayaan Natal yang terpusat pada
tanggal 25 Desember kemudian musti children-friendly, lansia-friendly,
singkatnya, mengakomodasi seluruh anggota keluarga dari semua usia dan
semua latar-belakang. Jika ini dikerjakan, maka Anda bisa bayangkan
betapa makna “gereja sebagai keluarga” menjadi begitu bermakna. Selain
itu, strategi ini memungkinkan gereja kita untuk menjalankan
keinginannya sejak dulu untuk menggeser pusat perhatian pada Paska dan
bukan Natal. Keuntungan lain: hemat. Uang yang mustinya dipakai untuk
hiasan natal, hadiah natal, konsumsi, dan lain-lain di perayaan-perayaan
kategorial, kini bisa dialihkan untuk tugas sosial gereja ke masyarakat.
Dan keuntungan teologis yang terutama: kekacauan struktur iman kristiani
terhindarkan. Masa adventus tetap menjadi masa penantian dan
pengharapan, yang memuncak pada Natal itu sendiri.

Apakah usulan saya ini bisa dilaksanakan? Tentu saja bisa. Anda tentu
dengan mudah melihat bahwa usulan-usulan di atas membuat kepeningan
persiapan Natal berkurang. Tapi, ‘kan masalah selama ini bukan soal bisa
atau tidak bisa, melainkan mau atau tidak. Soal yang satu ini
terus-terang hanya kita masing-masing yang bisa mengaturnya.

Akhirnya, selamat (mempersiapkan) Natal. Salam dari kami berlima yang
tengah kedinginan di Boston.


Tidak ada komentar: